Oleh: Sholahudin Al Ayyubi, S.Sos.
Selama ini, kasus terorisme selalu dibaca dari sudut pandang nasionalisme dan sisi keagamaan. Seseorang yang tidak memiliki nasionalisme dan keagamaan yang baik, maka ia berpotensi masuk dalam lubang hitam terorisme. Pembacaan kasus terorisme lebih banyak berkutat di area ini.
Sayangnya, di lapangan, kasus terorisme sangat kompleks. Di banyak tempat, kasus terorisme terjadi karena faktor ekonomi, ketidakadilan, dan kasus bullying yang menimpa diri seseorang. Mengapa bullying bisa jadi salah satu indikator penyebab terjadinya terorisme?
Sebab dan Akibat Kasus Bullying
Dalam kondisi tertentu, di mana seseorang merasa disakiti, diintimidasi dan direndahkan martabanya, ketika itu juga orang tersebut mengalami amarah yang luar biasa. Di dalam dirinya, ada sisi verbal, maupun psikologis yang tergores. Akibatnya, korban bullying sering merasa tersakiti dan menyimpan amarah yang meledak-ledak. Bahkan tak jarang dari mereka yang menyimpan dendam negatif atau kejam terhadap seseorang yang membullynya atau kepada siapa pun orang itu. Kemarahan itulah yang sering kali membuat korban bullying lepas kontrol. Dia tidak bisa menyimpan atau mengelola amarah dengan baik. Maka itu, yang ada di dalam dirinya hanyalah amarah dan dendam yang harus segara dituntaskan. Amarah ini yang kemudian menggiring dia untuk melakukan apa saja. Salah satunya adalah tindakan ekstrem. Lambat laun, tindakan ekstrem ini mengental dan menjadi kebiasaan. Kita tahu, radikalisasi adalah proses tahapan seseorang mengadopsi pikiran atau tindakan ekstrem. Karena sudah terbiasa maka berujung pada tindakan yang lebih besar, yakni teror.
Mencari Jalan Baru dengan Menjadi Teroris
Di luar jalur itu, korban bullying selalu dimanfaatkan oleh kelompok teror. Korban bullying amarahnya sekadar dijadikan bahan untuk melakukan kekerasan. Jamak kita melihat bahwa korban bullying ini hanyalah dieksploitasi kerentanan psikologis mereka dengan cara balas dendam dan tindakan kekerasan. Sebagai sebuah contoh, banyak kasus sudah terjadi. Seperti di negara-negara Barat, korban bullying menjadi penyumbang terorisme paling banyak. Ini terjadi karena faktor rasa dendam, dan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan melalui tindakan kekerasan. Di Indonesia sendiri sering terjadi. Bahwa pelaku dengan cara bergabung pada gerbong terorisme justru bukanlah karena tindak terorisme. Melainkan karena ia sering dibully oleh teman-temannya di sekolah atau di tempat permainan. Dari sini orang ini memiliki dendam yang dahsyat kemudian melakukan tindak kriminal. Sayangnya, korban bullying bertemu dengan para sindikat terorisme. Misalnya, bila ada korban bullying ditahan akibat melakukan kriminal, ia dimanfaatkan oleh narapidana kasus terorisme di dalam tahanan. Dengan kerentanan psikologis, sangat gampang korban bullying dimasukkan ajaran dan paham radikal. Apalagi jika mereka diberikan cek kosong dan diiming-imingi oleh sesuatu yang menjadi keinginan korban. Maka tak aneh, jika korban bullying kemudian menjadi korban terorisme. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa bullying seringkali menjadi alasan mengapa orang menjadi teroris. Terlukanya harga diri, psikologis dan martabat hidupnya menjadi alasan dia untuk melakukan apa saja yang penting dendam terbalaskan, meski dendam itu sampai pada orang lain.
Memberantas Bullying, Memberantas Terorisme
Secara garis besar, korban bullying ingin juga melakukan perilaku agresif yang menggambarkan sakit hatinya. Ini sama dengan apa yang diterima saat terjadi bullying, yakni merasa terisolasi, tidak berdaya dan kehilangan rasa percaya diri. Yang ada hanyalah ingin menyakiti, mengintimidasi atau merendahkan individu lain (Peter K. Smith, Debra Pepler, dan Ken Rigby, 2004). Berdasarkan penjelasan di atas, bullying menjadi masalah serius yang harus ditangani oleh pihak keluarga. Sebab bullying bisa terjadi di mana saja, seperti di lingkungan sekolah, media sosial, atau komunitas. Parahnya, korban bullying bisa dimanfaatkan oleh teroris dan menjadi martir paling mematikan. Karena itu, korban bullying harus ditangani serius. Dan bullying harus ditangani sejak awal sebelum sampai pada gejala yang lebih akut. Para orang tua, guru dan pemerintah kiranya perlu membaca fenomena bullying yang tiap hari tambah akut. Akhirnya, jika kita ingin memberantas radikalisme dan terorisme, kita harus lebih dulu memberantas perilaku bullying. Itu.